Paket Promo Umroh VIP Terjangkau di Jakarta Selatan
Paket Promo Umroh VIP Terjangkau di Jakarta Selatan Hubungi 021-9929-2337 atau 0821-2406-5740 Alhijaz Indowisata adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang tour dan travel. Nama Alhijaz terinspirasi dari istilah dua kota suci bagi umat islam pada zaman nabi Muhammad saw. yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota yang penuh berkah sehingga diharapkan menular dalam kinerja perusahaan. Sedangkan Indowisata merupakan akronim dari kata indo yang berarti negara Indonesia dan wisata yang menjadi fokus usaha bisnis kami.
Paket Promo Umroh VIP Terjangkau di Jakarta Selatan Alhijaz Indowisata didirikan oleh Bapak H. Abdullah Djakfar Muksen pada tahun 2010. Merangkak dari kecil namun pasti, alhijaz berkembang pesat dari mulai penjualan tiket maskapai penerbangan domestik dan luar negeri, tour domestik hingga mengembangkan ke layanan jasa umrah dan haji khusus. Tak hanya itu, pada tahun 2011 Alhijaz kembali membuka divisi baru yaitu provider visa umrah yang bekerja sama dengan muassasah arab saudi. Sebagai komitmen legalitas perusahaan dalam melayani pelanggan dan jamaah secara aman dan profesional, saat ini perusahaan telah mengantongi izin resmi dari pemerintah melalui kementrian pariwisata, lalu izin haji khusus dan umrah dari kementrian agama. Selain itu perusahaan juga tergabung dalam komunitas organisasi travel nasional seperti Asita, komunitas penyelenggara umrah dan haji khusus yaitu HIMPUH dan organisasi internasional yaitu IATA.
saco-indonesia.com, Geri Abraham yang berusia (27) tahun , terpaksa berurusan dengan polisi usai menghisap ganja di Jalan Kiapan
saco-indonesia.com, Geri Abraham yang berusia (27) tahun , terpaksa berurusan dengan polisi usai menghisap ganja di Jalan Kiapang, Boncos RT 08 RW 06, Kota Bambu Selatan, Palmerah, Jakarta Barat.
Kapolsek Palmerah, Kompol Sukatma, juga mengatakan, penangkapan ini telah berdasarkan adanya laporan dari masyarakat yang sudah resah dengan adanya para pemuda yang mabuk-mabukan.
"Dapat informasi itu, petugas pada pukul 06.00 pagi WIB langsung terjun ke lapangan dan telah mendapati dua orang sedang menghisap ganja," ujar Sukatma kepada wartawan, Senin (10/2/2014).
Anggota pun segera langsung menyergap dua pemuda tersebut. Namun, satu orang tersebut telah berhasil melarikan diri dari tangan petugas.
"Kami juga telah menemukan dua linting ganja yang tersimpan di dalam bungkus rokok, di dekat tersangka," lanjutnya.
Sementara itu, pelaku yang dalam keadaan panik karena telah tertangkap berkilah ganja itu bukan miliknya, tapi milik temannya yang telah berhasil meloloskan diri.
"Namun tersangka juga mengaku kalau ganja itu baru saja mereka hisap bersama-sama," pungkasnya.
Kini, Gerri telah meringkuk di tahanan Mapolsek Palmerah dan akan di jerat Pasal 111 Jo 132 KUHP dengan ancaman hukuman minimal 4 tahun penjara.
Editor : Dian Sukmawati
Gonta-ganti Pasangan dan Risiko Penyakit Mematikan
Pemberitaan
mengenai kasus hukum yang dibumbui kisah sejumlah wanita di sekelilingnya serta kehidupan para
pejabat tinggi yang gonta-ganti pasangan membuat saya harus mengingatkan bahwa kehidupan seks
bebas berisiko berbagai penyakit terutama Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Saco-Indonesia.com -
Pemberitaan mengenai kasus hukum yang dibumbui kisah sejumlah wanita di
sekelilingnya serta kehidupan para pejabat tinggi yang gonta-ganti pasangan membuat saya
harus mengingatkan bahwa kehidupan seks bebas berisiko berbagai penyakit terutama Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
Pengalaman klinis saya sebagai dokter
spesialis penyakit dalam menemukan, pasien dengan HIV terjadi pada semua kalangan. Penyakit ini
bisa menulari semua profesi. Ibu rumah tangga(IRT) yang tidak gonti-
ganti pasanganpun menderita HIV karena mungkin tertular dari suaminya yang suka "jajan"
diluar.
Seorang ibu muda baik-baikyang akan
menikah positif mengidap HIV karena kemungkinan tertular dari mantan pacarnya yang
memakai narkoba, dimana saat pacaran sewaktu duduk di bangku SMA pernah berhubungan seks
beberapa kali. Berdasarkan pengalaman ini, untuk memastikan apakah seseorang menderita HIV
AIDS, saya tidak akan melihat status sosial pasien tersebut walau sehormat apapun status sosial
pasien tersebut.
Beberapa kali media pernah menguak kehidupan seks
para oknum pejabatdan petinggi negara. Gonta-ganti pasangan sepertinya sesuatu hal
yang berjalan lumrah. Pejabat tinggi negara termasuk para penguasa daerah yang beristri lebih
dari satu juga bukan rahasia lagi. Gratifikasi seks juga sudah tidak menjadi rahasia umum lagi.
Dari sudut agama, jelas bahwa hubungan seks di luar pernikahan
merupakan zinah dan amal ibadah orang yang melakukan zinah tidak diterima selama 40
tahun. Dari sudut kesehatan gonta-ganti pasangan berisiko penyakit, kelompok
penyakit akibat gonta-ganti pasangan ini dimasukan sebagai sexually transmitted disease
(STD). Untak para wanita yang gonta-ganti pasangan selain penyakit STD tadi juga berisiko untuk
terjadinya kanker mulut rahim sedang untuk laki-laki gonta-ganti pasien akan menambah risiko
untuk menderita kanker prostat dikemudian hari.
Saya masih ingat
ketiga seseorang pasien laki-laki muda datang kepadasaya karenamenderita infeksi kencing nanah (GO) setelah berhubungan dengan wanita "baik-
baik".
Sang pasien tidak habis pikir wanita yang disangka "baik-
baik" tersebut ternyata menularkan kencing nanah kepada dirinya. Saat itusaya
sampaikan kepada pasien tersebut kalau penyakit kelamin tidak mengenal status
sosial pasien yang mengalami penyakit kelamin tersebut.
Siapapun yang
berhubungan seks dengan dengan seseorangdengan kehidupan seks gonta-ganti pasangan
berpotensi menularkan penyakit yang didapat dari pasangan seks sebelumnya. Pasien
dengan HIV positif atau dengan hepatitis B atau C sama dengan orang normal tanpa infeksi virus
tersebut. Ketiga penyakit virus ini merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan
seksual.
Yang membedakan bahwa satu dengan yang lain adalah bahwa didalam darah pasien dengan HIV atau pasien dengan hepatitis B atau Cmengandung virus tersebut sedang yang lain tidak. Secara fisiktidak dapat
dibedakansiapa yang didalam tubuhnya mengandung virus yang sangat berbahaya
tersebut.
Oleh karena itu, saat kita berhubungan seks dengan
seseorang yang bukan istri kita maka kita sudah berisiko untuk mengalami penyakit infeksi yang
berbahaya dan mematikan. Fase tanpa keluhan penderita infeksi virus ini dapat berlangsung selama
5-10 tahun sampai mereka mempunyai gejala. Oleh karena itu sering saya mendapatkan pasien yang
mengalami HIV AIDS saat ini dan menduga tertular pada saat 5 atau 10 tahun yang lalu karena
mereka menyampaikan setelah menikah 5 tahun belakangan ini mereka tidak pernah berhubungan seks
dengan orang lain kecualikepada istri atau suami sahnya saja.
Kita tahu bahwa penyakit HIV AIDS merupakan penyakit yang berbahaya dan
mematikan.Penyakit ini disebabkan oleh virus "Human Immunodeficiency
Virus" (HIV), sampai saat ini vaksin yang established yang dapat digunakan
secara luas belum ditemukan. Obat-obat anti retroviral (ARV) yang ada saat ini sudah mampu
menekan jumlah virus sampai tidak terdeteksi. Bukti klinik membuktikan bahwa pengobatan dengan
ARV bisa menekan penyebaran virus sampai lebih 90 %. Di Indonesia ARV saat ini masih gratis
dengan akses mudah untuk mendapatkannya. Memang saat ini angka penggunaan ARV di Indonesia masih
rendah. Pasien-pasien HIV yang tidak mau mengkonsumsi ARV dengan berbagai alasan lebih cepat
menghadap Yang Maha Kuasa.
Gejala klinis akibat virus baru
muncul pada penderita infeksi HIV yang sudah lanjut, jika daya tahan tubuhnya sudah menurun.
Berbagai infeksi oportunistik akan muncul seperti sariawan karena jamur kandida, TBC paru,
infeksi otak, diare kronik karena infeksi jamur atau parasit atau berupa timbul hitam2 dikulit.
Selain itu, pasien HIV yang sudah masuk tahap lanjut ini mengalami berat badan turun. Hasil
pemeriksaan laboratorium pasien terinfeksi HIV yang lanjut jumlah lekosit akan kurang dari
5.000 dengan limfosit kurang dari 1.000. Diare kronik, sariawan dimulut dan berat badan turun
merupakan gejala utama jika pasien sudah mengalami infeksi HIV lanjut dan sudah masuk fase
AIDS.
Bagaimana mencegah infeksi ini lebih lanjut? Stop gonta-ganti pasangan, stop gratifikasi seks. Siapa saja yang pernah melakukan
hubungan seksual, terutama hubungan seksual di luar nikah dan pernah menggunakan jarum suntik
yang tidak steril atau pernah menggunakan Narkoba jarum suntik dianjurkan untuk memeriksa status
HIVnya. Karena semakin dini pasien HIV diberikan obat anti virus (ARV) semakin cepat menurunkan
jumlah virus dan mengurangi potensi penularan dan tentu pada akhirnya meningkatkan kualitas
hidup orang dengan HIV tersebut
Gonta-ganti
pasanganbukan merupakan budaya tapi merupakan kebiasaan dan tentunya kebiasaan
buruk. Risiko gonta-ganti pasangan bukan saja pada prianya tapi juga wanitanya, ketika
seseorang wanita dirayu oleh uang dan harta dan mengikuti keinginan naluri seks yang memberi
uang, sebenarnya para wanita tersebut juga sudah berisiko untuk tertular penyakit dari laki-
laki tersebut, begitu pula sebaliknya ketika si pria berhubungan dengan wanita yang mudah diraih
dengan rayuan uang atau harta, laki-laki tersebut juga harus sadar mungkin para wanita tersebut
baru saja jatuh dari pelukan laki-laki lain yang belum jelas status HIVnya.
Bagi yang belum terjebak dari kebiasaan gonta-ganti pasangan sebaiknya tidak
berhubungan seks sebelum menikah dan tetap setia dengan satu pasangan agar tidak terjebak
kebiasaaan gonta-ganti pasangan yang beriko penyakit yang berat dan mematikan walau kesenangan
tersebut dapat diraih dengan mudah.
Salam sehat,
Dr. Ari Fahrial Syam
Editor : Liwon Maulana
Jayne Meadows, Actress and Steve Allen’s Wife and Co-Star, Dies at 95
Ms. Meadows was the older sister of Audrey Meadows, who played Alice Kramden on “The Honeymooners.”
How Some Men Fake an 80-Hour Workweek, and Why It Matters
Imagine an elite professional services firm with a high-performing, workaholic culture. Everyone is expected to turn on a dime to serve a client, travel at a moment’s notice, and be available pretty much every evening and weekend. It can make for a grueling work life, but at the highest levels of accounting, law, investment banking and consulting firms, it is just the way things are.
Except for one dirty little secret: Some of the people ostensibly turning in those 80- or 90-hour workweeks, particularly men, may just be faking it.
Many of them were, at least, at one elite consulting firm studied by Erin Reid, a professor at Boston University’s Questrom School of Business. It’s impossible to know if what she learned at that unidentified consulting firm applies across the world of work more broadly. But her research, published in the academic journal Organization Science, offers a way to understand how the professional world differs between men and women, and some of the ways a hard-charging culture that emphasizes long hours above all can make some companies worse off.
Ms. Reid interviewed more than 100 people in the American offices of a global consulting firm and had access to performance reviews and internal human resources documents. At the firm there was a strong culture around long hours and responding to clients promptly.
“When the client needs me to be somewhere, I just have to be there,” said one of the consultants Ms. Reid interviewed. “And if you can’t be there, it’s probably because you’ve got another client meeting at the same time. You know it’s tough to say I can’t be there because my son had a Cub Scout meeting.”
Some people fully embraced this culture and put in the long hours, and they tended to be top performers. Others openly pushed back against it, insisting upon lighter and more flexible work hours, or less travel; they were punished in their performance reviews.
The third group is most interesting. Some 31 percent of the men and 11 percent of the women whose records Ms. Reid examined managed to achieve the benefits of a more moderate work schedule without explicitly asking for it.
They made an effort to line up clients who were local, reducing the need for travel. When they skipped work to spend time with their children or spouse, they didn’t call attention to it. One team on which several members had small children agreed among themselves to cover for one another so that everyone could have more flexible hours.
A male junior manager described working to have repeat consulting engagements with a company near enough to his home that he could take care of it with day trips. “I try to head out by 5, get home at 5:30, have dinner, play with my daughter,” he said, adding that he generally kept weekend work down to two hours of catching up on email.
Despite the limited hours, he said: “I know what clients are expecting. So I deliver above that.” He received a high performance review and a promotion.
What is fascinating about the firm Ms. Reid studied is that these people, who in her terminology were “passing” as workaholics, received performance reviews that were as strong as their hyper-ambitious colleagues. For people who were good at faking it, there was no real damage done by their lighter workloads.
It calls to mind the episode of “Seinfeld” in which George Costanza leaves his car in the parking lot at Yankee Stadium, where he works, and gets a promotion because his boss sees the car and thinks he is getting to work earlier and staying later than anyone else. (The strategy goes awry for him, and is not recommended for any aspiring partners in a consulting firm.)
A second finding is that women, particularly those with young children, were much more likely to request greater flexibility through more formal means, such as returning from maternity leave with an explicitly reduced schedule. Men who requested a paternity leave seemed to be punished come review time, and so may have felt more need to take time to spend with their families through those unofficial methods.
The result of this is easy to see: Those specifically requesting a lighter workload, who were disproportionately women, suffered in their performance reviews; those who took a lighter workload more discreetly didn’t suffer. The maxim of “ask forgiveness, not permission” seemed to apply.
It would be dangerous to extrapolate too much from a study at one firm, but Ms. Reid said in an interview that since publishing a summary of her research in Harvard Business Review she has heard from people in a variety of industries describing the same dynamic.
High-octane professional service firms are that way for a reason, and no one would doubt that insane hours and lots of travel can be necessary if you’re a lawyer on the verge of a big trial, an accountant right before tax day or an investment banker advising on a huge merger.
But the fact that the consultants who quietly lightened their workload did just as well in their performance reviews as those who were truly working 80 or more hours a week suggests that in normal times, heavy workloads may be more about signaling devotion to a firm than really being more productive. The person working 80 hours isn’t necessarily serving clients any better than the person working 50.
In other words, maybe the real problem isn’t men faking greater devotion to their jobs. Maybe it’s that too many companies reward the wrong things, favoring the illusion of extraordinary effort over actual productivity.